Galian Telkom

Hmm.... ^_^

Friday, November 24, 2006

Subjectivist, How to Become

Secara ekstrim, ada dua paradigma yang saling bertolak belakang mengenai apa itu kenyataan. Yang pertama adalah objektifisme, dan yang kedua adalah subjektifisme. Paradigma yang umum dianut oleh sebagian besar manusia (setidaknya yang saya kenal :)) adalah objektifisme. Sesuai namanya, paradigma ini memandang kenyataan sebagai sesuatu yang objektif, terlepas dari individu-individu yang terlibat di dalamnya. Seluruh individu yang berada di dalam kenyataan ini terikat kepada suatu hukum universal yang mengatur bagaimana komponen-komponen dalam kenyataan ini berinteraksi. Mengapa orang tidak bisa terbang? Mengapa orang tidak bisa menembus tembok? Mengapa begini, mengapa begitu? Menurut paradigma objektifisme, semua pertanyaan ini pasti bisa dijawab dengan membuat teori yang didasarkan pada perilaku dari kenyataan. Orang kalau loncat dari atas meja pasti jatuh ke bawah, tidak peduli apakah yang loncat itu saya, anda, atau bahkan George W Bush. Semua terikat oleh sesuatu yang bernama "Hukum Alam", atau istilah islaminya "Sunnatullah". Oleh karena itu ada yang namanya ilmu eksakta; ilmu pasti, yang isinya tentu mempelajari hal-hal yang pasti-pasti aja deh :).

Nah, sekarang coba buang jauh-jauh asumsi-asumsi diatas. Cobalah untuk memulai mempertanyakan apa hakekat dari kenyataan. Kita mulai dengan satu pertanyaan sederhana : Apa itu mimpi? Ya ya ya saya yakin anda semua pasti akan menjawab : Mimpi adalah fantasi atau bayangan yang kita alami ketika kita sedang tidur. Pertanyaan berikutnya : Ketika dalam mimpi kita bertemu dengan seseorang, katakanlah Nabi Khidir atau Sunan Kalijaga, apakah orang tersebut benar-benar ada sebagai suatu kesadaran yang mempunyai kehendak? Saya yakin sebagian besar anda (kecuali yang percaya dengan hal-hal yang berbau klenik) akan menjawab : Tentu saja tidak, karena orang-orang yang kita temui pada mimpi kita itu hanyalah bayangan atau fantasi kita saja. Nah, sekarang pertanyaannya jadi sedikit rumit : Bagaimana anda bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan? Hmmm... susah nih :). Mungkin anda akan menjawab : Ya jelas beda lah! Mimpi terjadi ketika kita sedang tidur, sementara kenyataan itu benar-benar terjadi! Hmmm oke, mungkin pertanyaannya saya ganti sedikit : Bagaimana anda tau kalau anda sedang bermimpi? Jawabannya tentu sangat mudah : Ya ketika kita bangun! Atau ketika kita tahu bahwa ada suatu hal lain yang merupakan kenyataan, sehingga yang sedang kita alami ini pasti hanyalah mimpi. Nahhh! Sekarang dari mana anda yakin bahwa sekarang anda tidak sedang bermimpi? Dari mana anda yakin bahwa tulisan yang sedang anda baca ini adalah sesuatu so-called "kenyataan"? Ketika anda bangun? Dari mana anda yakin bahwa anda akan "bangun"?

Kesimpulannya : mimpi == kenyataan! Atau lebih tepatnya, kita mempunyai persepsi yang sama persis antara mimpi dan kenyataan. Dalam dunia yang dibentuk oleh kesadaran anda, tidak ada bedanya apakah dunia itu benar-benar "ada", atau dunia itu hanyalah bayangan yang dibentuk oleh kesadaran anda. Berbekal fakta inilah muncul suatu paradigma yang bernama subjektifisme.

Berdasarkan paham subjektfisme, maka tidak ada yang disebut dengan "kenyataan yang objektif". Kenyataan itu dibentuk oleh suatu kesadaran, suatu pengamat, yang menentukan bagaimana perilaku dari kenyataan tersebut. Dalam hal ini, yang berlaku sebagai pengamat adalah saya yang mengamati dunia yang saya tinggali. Anjing-anjing fasilkom yang kelaparan, teman SMA saya yang sabtu kemarin menikah, orang-orang yang saya temui hari ini, semuanya hanyalah bayangan saya saja. Hal-hal tersebut tidak perlu benar-benar "ada". Mengapa saya tidak bisa terbang? Mengapa saya tidak bisa menembus tembok? Mengapa saya tidak pernah berhasil dalam membina hubungan dengan wanita (halah)? Tidak lain karena saya "percaya" pada hal tersebut. Jika saya percaya bahwa saya bisa terbang, ya saya akan terbang. Saya tidak bisa terbang karena saya percaya bahwa saya tidak bisa terbang.

Pertanyaan berikutnya segera datang menyergap : Apa yang menyebabkan kita "percaya"? Hmm... bagaimana kalau "pengalaman"? Sejak kecil kesadaran saya dibombardir dengan informasi mengenai "kenyataan" di sekitar saya. Hmm... tapi kan sebenarnya informasi yang masuk itu sebenarnya berasal dari saya juga. Jadinya lingkaran setan dong? Kalau begitu, dari mana saya mendapatkan informasi awal mengenai kenyataan ini? Tuhan kah? Apakah.... kesadaran saya adalah bagian dari "kesadaran" lain? Tuhan? Ultimate Observer?

Hehehe... tujuan tulisan ini memang bukan supaya anda mengerti, namun supaya anda bingung :). A wise man said : Jika anda tidak kebingungan, maka anda tidak mengerti. Jadi... akhirul kata, selamat berpikir :).

Sunday, November 05, 2006

Balada Gedung Bundar

Coba tebak apa repotnya hidup di bangunan yang berbentuk bundar? Mungkin sebagian besar anda tidak pernah merasakannya karena hanya arsitek sableng yang merancang gedung seaneh ini (whoops, sori rez :D). Repotnya adalah... bagaimana menentukan arah kiblat :). Selama ini ketika saya memasuki lingkungan bangunan yang baru, saya tinggal bertanya sekali saja kepada orang yang ada di sekitar situ. Jika saya berpindah ruangan, saya tinggal mengingat-ingat posisi relatif ruangan yang saya tempati sekarang dengan tempat saya menanyakan arah kiblat sebelumnya. Dan karena umumnya jalannya terdiri atas jalan lurus dan persimpangan, tidak terlalu susah menghitung posisi saya sekarang ( misalkan dari ruangan pertama saya belok kiri - kanan - kiri - kiri).

Sekarang bagaimana jika gedungnya berbentuk bundar? Ketika saya berpindah ruangan, saya harus memperkirakan berapa derajatkah saya berputar dari ruangan sebelumnya. Misalkan pada ruangan sebelumnya saya shalat menghadap pintu, maka pada ruangan sebelahnya saya harus shalat menghadap pintu agak miring ke kanan sedikit. Nah, susah kan :)? Cara termudah yaa... tanya ke yang punya ruangan ke manakah arah kiblat. Hanya kadang-kadang jadi ada perasaan aneh, masak sudah tinggal disini lebih dari 3 tahun masih tidak tahu arah kiblat? Yaopo maneh lha wong gedung-e bunder iks...